Dia Matahari, sungguh namanya adalah Matahari. Tapi
aku setuju pada orang tuanya, Matahari memang seperti matahari. Matanya hangat,
wajahnya bersinar, senyumnya tenang dan gerak tubuhnya seperti tarian para
ilalang, lembut.
Aku selalu sengaja duduk di belakangnya saat kelas
di mulai. Selalu. Aku suka mengirup aroma Vanilla dari tubuhnya, dan aroma buah
saat ia menyibakkan rambutnya. Juga wajah manisnya saat berbalik sekedar
menyapa atau meminjam sesuatu. Semua yang ada didirinya itu, selain seperti
Matahari, ia juga terasa manis.
Aku menyukainya dari pertama kami memasuki jenjang
kuliah, sejak ia memasuki kelas ini dan duduk di depanku, sejak aku mencium
aroma Vanilla dan aroma buah dari tubuhnya, dan sejak ia melambaikan tangnnya
dan menyebut namanya. Sejak tiga bulan yang lalu.
“Air, kamu mau makan apa?” Matahari meleburkan
tatapanku padanya
“hah?” pasti aku terlihat bodoh. Aku tidak mendengar
apa yang ia katakana tadi.
“mau ke kantin atau ke mana makannya?” Matahari
kembali bertanya padaku dengan senyum hangatnya. Kami selalu makan siang
bersama. Tidak, kami tidak berdua. Ada Kiran, Mia dan Ardi.
“aku terserah saja” jawabku masih canggung. Dia
kembali menangkap basah aku sedang menatapnya tak berkedip.
Matahari hanya mengangguk lalu bertanya pada yang
lain.
Aku membereskan barang-barangku. Aku tidak sadar
kapan dosen keluar dari kelas. Ah. Aku terlalu sibuk menatap Matahari dari
belakang.
Tidak ada yang mengetahui perasaanku ini. Aku belum
berani mengatakannya pada siapapun. Ardi? Ah, dia tidak ada bedanya dengan wanita.
Pasti aku bisa habis jika
dia tahu aku sukapada Matahari. Kiran dan Mia mungkin lebih tepat, mereka
berdua wanita tapi tidak secerewet Ardi. Aku belum menemukan saat yang tepat
untuk bercerita atau meminta saran atas kegelisahanku selama ini.
--
“kayanya lebih asik kalo kita ke Jogja deh” celoteh
Ardy lalu menyuap makanannya lahap.
“engga kejauhan?” balas Matahari. Kami sedang
membicarakan rencana liburan di semester pertama kami. Sebagai perayaan
pertemanan kita katanya.
“kayanya asik si benar, boleh tuh” timbal Mia.
Aku hanya diam, aku ikut saja mereka mau ke mana,
yang jelas ada Matahari dan semuanya akan terasa menyenangkan, kemanapun
tujuannya.
“nanti kita nginep di rumah eyangku, tidak jauh dari
candi Borobudur dan tempatnya sangat nyaman. Gimana?” lanjut Ardi.
Wajah Mia dan Kiran semakin berbinar.
“mau” teriak mereka berdua semangat, tapi Matahari
terlihat biasa saja.
“hey, gimana?” Mia menyenggol Matahari.
“emm” Matahari menggumam, wajahnya seperti
memikirkan sesuatu “terserah kalian aja deh” lanjutnya kini dengan senyuman.
“oke! Sebelum UAS kita beli tiket ya, berarti kita
harus hemat” kata Ardi semangat.
Aku hanya mengangguk dan menyuap baso di mangkukku.
Dimanapun tempatnya, asalkan ada Matahri semuanya akan indah bukan?
--
Sore ini gelap, rasanya tubuhku remuk. Berangkat
pagi dan pulang hampir pukul lima sore. Aku benci statistika, dan kelompokku
tidak ada yang bisa di andalkan.
Aku baru saja selesai mengerjakan tugas kelompok yang hanya aku sendiri yang mengerjakan.
Aku tidak suka tugas kelompok, atas nama semua anggota dan pasti hanya satu
atau dua orang yang mengerjakan.
Langkahku hampir seperti zombie di game Plant VS Zombie.
“Air” langkahku terhenti di depan pintu parkir.
“hai” sapa wanita yang memanggilku tadi, dia sudah
berada di sampingku sekarang. Matahari.
Aku tersenyum “hai, aku kira kamu udah pulang bareng
Mia dan Kiran tadi”
Matahari menggelengkan kepalanya sambil menekuk
bibirnya. Wajah manja Matahari.
Aku menekuk kedua alisku. Biasanya dia pulang
bersama Mia dan Karin.
“kita ke taman mau?” ajakku, diapasti sedang tidak
ingin pulang. rasa lelahku tadi sungguh-sungguh hilang melihat wajah Matahari
sore ini.
Matahari mengangguk dan kami berjalan beriringan
menuju taman kampus.
Kami selalu bersama setiap hari memang, tapi tidak
pernah berdua seperti ini. Selalu ada ‘mereka’ dan aku sama sekali tidak
memiliki kesempatan untuk berbincang banyak dengan Matahari. Dan hari ini.
Untuk pertama kalinya aku berdua dengan Matahari.
Kami berdua duduk disebuah kursi di pinggir taman.
Setiap berada di sisinya pasti selalu terasa hangat, sedingin apapun cuaca sore
ini, sekencang apapun angin sore ini. Matahari tetap teras hangat.
Angin membawa aroma Vanilla ke hidungku. Aku sungguh
sangat menikmatinya. Aku menghirupnya dalam dan menghempasnya perlahan. Aroma
Vanilla itu mengoyak-oyak paru-paruku.
Hari ini seperti berkah tuhan mengizinkan aku duduk
‘berdua’ dengan Matahari, berkah? Apa ini sebuah jalan? Sebuah jalan untuk aku
mengatakan perasaanku tanpa kehadiran ‘mereka’.
Aku menatap wajah Matahari. Masih bersinar seperti
matahari tadi siang. Dia menatap kolam ikan yang tidak jauh dari kami.
Senyumnya tidak muncul tapi. Matanya sedikit sayu. Sepertinya dia lelah.
Aku sedang menatapnya? Tidak. Aku sedang
mengumpulkan nyali untuk mengatakan perasaanku. Aku tidak bisa mengandalkan
angin untuk membisikkan perasaanku.
Aku mengambil nafas dalam.
“Matahari”
“Air”
Kalimat kami bertemu, tiba-tiba Matahari menatapku
seperti ingin berkata.
“kamu duluan” kataku mempersilahkan ia mengatakan
apa yang ingin ia katakana terlebih dahulu.
“emm” kini wajahnya malah terlihat bingung dan malu.
Ekspresinya membuat aku semakin bertanya-tanya.
“emm Air, aku mau bilang sesuatu sama kamu” katanya
serius. Matanya tidak menatap wajahku sama sekali.
Aku menunggu ceritanya. Apa yang ingin ai katakana
sampai harus meminta izin sebelum mengatakannya?
“aku..” kalimatnya tergantung di sana “aku engga
bisa ikut ke Jogja” lanjutnya. Wajahnya muram.
Aku menekuk alis lagi. Haruskah wajahnya ditekuk
seperti itu? aku tidak suka melihatnya. Hanya karena ia tidak bisa ikut ke
Jogaja? Bukankah itu bukan masalah besar?
Aku tersenyum “kita bisa bicarakan lagi kalo menurut
kamu Jogja terlalu jauh. Kita bisa bicarakan sama mereka bukan?”
“engga Air, aku bingung gimana bilangnya” tangkis
Matahari tanpa jeda setelah kalimatku.
“kamu bisa
bilang ke aku terus kenapa engga bisa bilang sama yang lain?” tanyaku lagi. Aku
terus menatap wajahnya yang sama sekali tidak menatapku dari tadi.
Dia diam. Mengangkat kepalanya. Kini ia menatap
langit kosong. “mereka akan bertanya kenapa. Kenapa aku engga bisa ikut?”
Aku menatapnya semakin dalam. Ya, aku juga akan
menanyakannya. “memangnya apa alasanmu?”
Matahari kembli diam dan melempar tatapannya ke arah
bumi dibawah kami. “aku punya anak, aku tidak bisa meninggalkan mereka”
Aku terpaku, aku tidak bisa bergerak, lidahku terasa
beku. Anak?
“aku sudah berkeluarga Air, aku juga tidak tahu
bagaimana cara aku meminta izin kepada suamiku untuk pergi berlibur” lanjutnya.
Aku masih terdiam. Rasanya jantungku seperti
tertusuk parang dan menembus sampai kepunggung. Aku tidak bisa berkata apapun.
Aku menyukai istri orang lain? Matahari tidak pernah menceritakan apapun
tentang keluarganya pada ami. Pada ku.
“aku tidak tahu bagaimana caranya menceritakan ini
kepada mereka, aku takut mereka tidak bisa menerima aku yang sudah seperti ini”
lanjutnya lagi.
Aku masih diam. Aku masih tidak percaya. Iya aku
tahu Matahari lebih tua dari kami, aku sama sekali tidak menyangka.
“bantu aku Air, aku tidak tahu harus bagaimana”
Matahari memegang lenganku. Rasanya tak hangat lagi. Kini ia terasa dingin dan
mendung seperti langit diatas kami.
Aku mengangguk dan berusaha memberi senyuman.
Matahari membalas senyumanku “iya, aku percaya kau
lah yang akan sedewasa ini” ia tersenyum lega. “terima kasih ya” katanya
Aku tersenyum lalu kembali mengangguk.
Matahari tersenyum lebar, ia terlihat menemukan
jalan untuk masalahnya.
Berbanding denganku, aku kini menyembunyikan rasa
perih yang menggerogoti perasaanku.
Jadi ini alasan tuhan mempertemukan aku dengan
Matahari sore ini, memberikan kesempatan untuk berdua. Tuhan memberikan
kesempatan ini untuk Matahari bukan untukku.
Tidak, ini memang kesempatan untukku juga. Kesempatan
untukku juga. Tuhan memberiku alasan untuk aku bisa mengubur perasaan pada
Matahari.
Ya. Aku akan menguburnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar