Rabu, 30 September 2015

Dia Matahari [CerPen]



Dia Matahari, sungguh namanya adalah Matahari. Tapi aku setuju pada orang tuanya, Matahari memang seperti matahari. Matanya hangat, wajahnya bersinar, senyumnya tenang dan gerak tubuhnya seperti tarian para ilalang, lembut.

Aku selalu sengaja duduk di belakangnya saat kelas di mulai. Selalu. Aku suka mengirup aroma Vanilla dari tubuhnya, dan aroma buah saat ia menyibakkan rambutnya. Juga wajah manisnya saat berbalik sekedar menyapa atau meminjam sesuatu. Semua yang ada didirinya itu, selain seperti Matahari, ia juga terasa manis.
Aku menyukainya dari pertama kami memasuki jenjang kuliah, sejak ia memasuki kelas ini dan duduk di depanku, sejak aku mencium aroma Vanilla dan aroma buah dari tubuhnya, dan sejak ia melambaikan tangnnya dan menyebut namanya. Sejak tiga bulan yang lalu.
“Air, kamu mau makan apa?” Matahari meleburkan tatapanku padanya
“hah?” pasti aku terlihat bodoh. Aku tidak mendengar apa yang ia katakana tadi.
“mau ke kantin atau ke mana makannya?” Matahari kembali bertanya padaku dengan senyum hangatnya. Kami selalu makan siang bersama. Tidak, kami tidak berdua. Ada Kiran, Mia dan Ardi.
“aku terserah saja” jawabku masih canggung. Dia kembali menangkap basah aku sedang menatapnya tak berkedip.
Matahari hanya mengangguk lalu bertanya pada yang lain.
Aku membereskan barang-barangku. Aku tidak sadar kapan dosen keluar dari kelas. Ah. Aku terlalu sibuk menatap Matahari dari belakang.
Tidak ada yang mengetahui perasaanku ini. Aku belum berani mengatakannya pada siapapun. Ardi? Ah, dia tidak ada bedanya dengan wanita. Pasti aku bisa habis jika dia tahu aku sukapada Matahari. Kiran dan Mia mungkin lebih tepat, mereka berdua wanita tapi tidak secerewet Ardi. Aku belum menemukan saat yang tepat untuk bercerita atau meminta saran atas kegelisahanku selama ini.

--

“kayanya lebih asik kalo kita ke Jogja deh” celoteh Ardy lalu menyuap makanannya lahap.
“engga kejauhan?” balas Matahari. Kami sedang membicarakan rencana liburan di semester pertama kami. Sebagai perayaan pertemanan kita katanya.
“kayanya asik si benar, boleh tuh” timbal Mia.
Aku hanya diam, aku ikut saja mereka mau ke mana, yang jelas ada Matahari dan semuanya akan terasa menyenangkan, kemanapun tujuannya.
“nanti kita nginep di rumah eyangku, tidak jauh dari candi Borobudur dan tempatnya sangat nyaman. Gimana?” lanjut Ardi.
Wajah Mia dan Kiran semakin berbinar.
“mau” teriak mereka berdua semangat, tapi Matahari terlihat biasa saja.
“hey, gimana?” Mia menyenggol Matahari.
“emm” Matahari menggumam, wajahnya seperti memikirkan sesuatu “terserah kalian aja deh” lanjutnya kini dengan senyuman.
“oke! Sebelum UAS kita beli tiket ya, berarti kita harus hemat” kata Ardi semangat.
Aku hanya mengangguk dan menyuap baso di mangkukku. Dimanapun tempatnya, asalkan ada Matahri semuanya akan indah bukan?

--

Sore ini gelap, rasanya tubuhku remuk. Berangkat pagi dan pulang hampir pukul lima sore. Aku benci statistika, dan kelompokku tidak ada yang bisa di andalkan. Aku baru saja selesai mengerjakan tugas kelompok yang hanya aku sendiri yang mengerjakan. Aku tidak suka tugas kelompok, atas nama semua anggota dan pasti hanya satu atau dua orang yang mengerjakan.
Langkahku hampir seperti zombie di game Plant VS Zombie.
“Air” langkahku terhenti di depan pintu parkir.
“hai” sapa wanita yang memanggilku tadi, dia sudah berada di sampingku sekarang. Matahari.
Aku tersenyum “hai, aku kira kamu udah pulang bareng Mia dan Kiran tadi”
Matahari menggelengkan kepalanya sambil menekuk bibirnya. Wajah manja Matahari.
Aku menekuk kedua alisku. Biasanya dia pulang bersama Mia dan Karin.
“kita ke taman mau?” ajakku, diapasti sedang tidak ingin pulang. rasa lelahku tadi sungguh-sungguh hilang melihat wajah Matahari sore ini.
Matahari mengangguk dan kami berjalan beriringan menuju taman kampus.
Kami selalu bersama setiap hari memang, tapi tidak pernah berdua seperti ini. Selalu ada ‘mereka’ dan aku sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk berbincang banyak dengan Matahari. Dan hari ini. Untuk pertama kalinya aku berdua dengan Matahari.
Kami berdua duduk disebuah kursi di pinggir taman. Setiap berada di sisinya pasti selalu terasa hangat, sedingin apapun cuaca sore ini, sekencang apapun angin sore ini. Matahari tetap teras hangat.
Angin membawa aroma Vanilla ke hidungku. Aku sungguh sangat menikmatinya. Aku menghirupnya dalam dan menghempasnya perlahan. Aroma Vanilla itu mengoyak-oyak paru-paruku.
Hari ini seperti berkah tuhan mengizinkan aku duduk ‘berdua’ dengan Matahari, berkah? Apa ini sebuah jalan? Sebuah jalan untuk aku mengatakan perasaanku tanpa kehadiran ‘mereka’.
Aku menatap wajah Matahari. Masih bersinar seperti matahari tadi siang. Dia menatap kolam ikan yang tidak jauh dari kami. Senyumnya tidak muncul tapi. Matanya sedikit sayu. Sepertinya dia lelah.
Aku sedang menatapnya? Tidak. Aku sedang mengumpulkan nyali untuk mengatakan perasaanku. Aku tidak bisa mengandalkan angin untuk membisikkan perasaanku.
Aku mengambil nafas dalam.
“Matahari”
“Air”
Kalimat kami bertemu, tiba-tiba Matahari menatapku seperti ingin berkata.
“kamu duluan” kataku mempersilahkan ia mengatakan apa yang ingin ia katakana terlebih dahulu.
“emm” kini wajahnya malah terlihat bingung dan malu. Ekspresinya membuat aku semakin bertanya-tanya.
“emm Air, aku mau bilang sesuatu sama kamu” katanya serius. Matanya tidak menatap wajahku sama sekali.
Aku menunggu ceritanya. Apa yang ingin ai katakana sampai harus meminta izin sebelum mengatakannya?
“aku..” kalimatnya tergantung di sana “aku engga bisa ikut ke Jogja” lanjutnya. Wajahnya muram.
Aku menekuk alis lagi. Haruskah wajahnya ditekuk seperti itu? aku tidak suka melihatnya. Hanya karena ia tidak bisa ikut ke Jogaja? Bukankah itu bukan masalah besar?
Aku tersenyum “kita bisa bicarakan lagi kalo menurut kamu Jogja terlalu jauh. Kita bisa bicarakan sama mereka bukan?”
“engga Air, aku bingung gimana bilangnya” tangkis Matahari tanpa jeda setelah kalimatku.
“kamu  bisa bilang ke aku terus kenapa engga bisa bilang sama yang lain?” tanyaku lagi. Aku terus menatap wajahnya yang sama sekali tidak menatapku dari tadi.
Dia diam. Mengangkat kepalanya. Kini ia menatap langit kosong. “mereka akan bertanya kenapa. Kenapa aku engga bisa ikut?”
Aku menatapnya semakin dalam. Ya, aku juga akan menanyakannya. “memangnya apa alasanmu?”
Matahari kembli diam dan melempar tatapannya ke arah bumi dibawah kami. “aku punya anak, aku tidak bisa meninggalkan mereka”
Aku terpaku, aku tidak bisa bergerak, lidahku terasa beku. Anak?
“aku sudah berkeluarga Air, aku juga tidak tahu bagaimana cara aku meminta izin kepada suamiku untuk pergi berlibur” lanjutnya.
Aku masih terdiam. Rasanya jantungku seperti tertusuk parang dan menembus sampai kepunggung. Aku tidak bisa berkata apapun. Aku menyukai istri orang lain? Matahari tidak pernah menceritakan apapun tentang keluarganya pada ami. Pada ku.
“aku tidak tahu bagaimana caranya menceritakan ini kepada mereka, aku takut mereka tidak bisa menerima aku yang sudah seperti ini” lanjutnya lagi.
Aku masih diam. Aku masih tidak percaya. Iya aku tahu Matahari lebih tua dari kami, aku sama sekali tidak menyangka.
“bantu aku Air, aku tidak tahu harus bagaimana” Matahari memegang lenganku. Rasanya tak hangat lagi. Kini ia terasa dingin dan mendung seperti langit diatas kami.
Aku mengangguk dan berusaha memberi senyuman.
Matahari membalas senyumanku “iya, aku percaya kau lah yang akan sedewasa ini” ia tersenyum lega. “terima kasih ya” katanya
Aku tersenyum lalu kembali mengangguk.
Matahari tersenyum lebar, ia terlihat menemukan jalan untuk masalahnya.
Berbanding denganku, aku kini menyembunyikan rasa perih yang menggerogoti perasaanku.
Jadi ini alasan tuhan mempertemukan aku dengan Matahari sore ini, memberikan kesempatan untuk berdua. Tuhan memberikan kesempatan ini untuk Matahari bukan untukku.
Tidak, ini memang kesempatan untukku juga. Kesempatan untukku juga. Tuhan memberiku alasan untuk aku bisa mengubur perasaan pada Matahari.
Ya. Aku akan menguburnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar