Rabu, 30 September 2015

Puisi [CerPen]



“engga Jar, kamu itu salah sangka!” aku berteriak pada fajar sore itu. Bagai mana tidak? Ia menuduhku berselingkuh dengan temannya sendiri. sudah gila orang ini.
“kamu SMS-an sama dia itu bukan bukti? Ada foto kamu di ponsel Dika itu bukan bukti?” Fajar tidak kalah membentakku.

Aku hampir menangis. Mataku pasti sudah menggenang air mata. “kamu lihat. Pesan ini tidak seperti yang kamu tuduhkan. Aku hanya berusaha mengenal duniamu. Soal ada fotoku di ponselnya itu bukan salahku bukan? Mana mungkin aku yang menyuruhnya?” aku mulai terisak. Pria yang aku cintai tidak mempercayaiku sekarang. Matanya terlihat amat marah, entah jin dari mana merasuki tubuhnya. Apapun yang aku katakana langsung ia sangkal dan tak didengarkan.
Fajar tersenyum getir padaku lalu pergi meninggalkanku di gazebo rumahku.
Aku tidak bisa memanggil namanya. Bibirku bergetar dan aku hanya dapat memandanginya sampai tubuhnya menghilang dibalik tikungan rumahku.
Aku masih terisak disana. Apa yang membuat Fajar semarah ini denganku? Bila yang aku lakukan ini salah, seharusnya dia tak semarah itu karena masalahnya tidak sebesar yang terlihat. Fajar benar-benar tidak mau mendengarkan aku.
--
Entah berapa pesan maaf yang aku beri. Bahkan aku memaksa Dika untuk menjelaskan apa yang terjadi. Dika pun tak berdaya. Dika memang menyinpan foto ku diponselnya. Tapi ia tidak bermaksud apa-apa dan Fajar melihatnya saat ponsel itu berada di tangannya setelah berfoto bersama.
Fajar sama sekali tidak menjawab pesan maupun telponku. Sungguh aku merasa terpuruk. Satu hari tanpa kabarnya tidak masalah jika hubungan kami sedang baik-baik saja. Tapi kali ini berbeda. Dia begitu membabi buta, tidak seperti biasnya.
Semuanya berawal ketika aku mencari Fajar yang tak kunjung memberi kabar sepulang dari kampus. Tiba-tiba sebuah nomor muncul di ponselku dan ternyata itu adalah dia menggunakan nomor teman dekatnya. Setelah itu aku sering menanyakan Fajar dan apa saja yang suka ia lakukan di sekolah. Hanya itu saja. Tapi semuanya berarti berbeda di mata Fajar.

--

“maaf, aku tidak bermaksud menghancurkan hubungan kalian. Entah rasanya aku nyaman sekali berbincang denganmu” kata Dika saat menemuiku di kantin.
Aku hanya diam mendengar penjelasannya.
“aku menyukaimu memang Dinda. Tapi aku masih sangat menghargai Fajar. Aku tidak berniat mengambil kamu dari dia. Kau tahu itu bukan?”
Kalimat Dika membekukan kepalaku. Fajar mengenal Dika dan pasti karena itu dia marah. Lalu aku korban? Aku tidak tahu soal perasaan Dika padaku dan Fajar tetap marah padaku?
“Aku akan membuat Fajar kembali padamu. Percayalah. Dia tidak memutus hubungan kalian berarti dia masih meyayangimu” katanya. Matanya seperti menahan perih. Senyumnya terasa getir.
Aku membalas senyumnya. mungkin senyum yang sama getirnya dengan yang baru saja diberikan Dika padaku.
Dia menepuk pundakku sebagai tanda perpisahan lalu bangkit dan berlalu tanpa sepatah kata lagi keluar dari mulutnya.
Aku memandangi punggungnya sampai ia berlalu dan menghilang dibalik tembok.
Tingkat keberhasilannya pasti sedikit. Dika taka akan bisa menyelesaikan masalah ini. Lagi pula, bagaimana pun ini masalahku dengan Fajar.
Aku bangkit dari tempatku duduk dan berjalan menuju perpustakaan. Ke mana lagi anak itu di saat seperti ini selain perpustakaan?

--

“Fajar” aku menemukannya terduduk di sudut perpustakaan. Ditangannya terbuka sebuah buku berkertas kuning.
Dia hanya menengok sebentar kepadaku lalu kembali pada fokus sebelumnya. Buku itu.
Aku terus berjalan menghampirinya dan duduk di hadapannya. Disana ada bukunya. Buku puisi yang selalu ia bawa. Selalu ada irama yang bisa ia jadikan kalimat indah setiap detiknya. Buku yang sama dengan yang ada di tasku. Ia memberikanku buku yang sama dengan miliknya. Bedanya milikku lebih banyak berisi cerpen dan beberapa puisi yang tak lebih indh dari miliknya.
“kamu masih marah?” tayaku percuma. Jelas raut wajah dan penyambutannya itu melambangkan segalanya bukan?
Ia masih serius dengan bukunya. Seakan keberadaanku tak terlihat olehnya. Ia sama sekali tak bergeming.
“Fajar. Apa yang harus aku lakukan lagi? Aku ingin kita seperti dulu” aku menggoyak-goyakkan pundak Fajar dan kini matanya menatap tajam padaku. Matanya tidak seperti Fajarku. Fajar si pria puisi penuh cinta.
Dia masih menatapku dingin disana sedangkan aku kini hampir menangis. Aku sangat merindukannya dan rasanya aku ingin memeluknya. Memeluk Fajarku.
Pria tegap ini bangkit dan meninggalkanku.
“Fajar” panggilku dengan air mata yang kini sudah menetes. Aku tak bisa menahannya lagi. Tangiku pecah sejadi-jadinya di perpustakaan kosong itu. sudut ini selalu kosong. Ini tempat kami. Tepat Fajar mengajariku menulis dari kalimat indah, puisi, cerpen dan ia ingin sekali aku bisa menulis sebuah Novel. Menurutnya aku lebih indah saat bercerita, puisi bukan duniaku. Tapi puisi dan Cerita adalah sebuah bagian yang saling melengkapi walaupun berbeda.
Tangisku masih disini bersamaku. Tanganku sudah menggenggam buku pemberian Fajar. Aku menggeggamnya erat berharap buku itu adalah tangan Fajar. Semuanya sudah hilang. Fajarku sudah hilang dan kini hanya ada orang asing yang tak aku kenal.
Tanganku bergetar memegang buku itu. buku dengan sampul coklat yang bearoma seperti tangan Fajar. Tidak. Aku tidak bisa membiarkannya tetap seperti ini. Fajarku harus kembli.
Aku menghapus air mataku dan mengambil nafas dalam.

--

“mamah, aku berangkat” aku berpamitan pada mamah dan pergi, membuka pintu dan … “Fajar” kakiku sangat lemas melihat pria itu ada di halaman rumahku. Dengan senyuman yang beberapa hari ini tidak aku lihat.
Aku berjalan menghampirinya. Hampir terasa ini mimpi. Dia berubah dalam waktu yang singkat dan tiba-tiba kembali lagi?
“maafin aku ya. Entah rasanya kemarin aku ingin sekali marah dan malah melampiaskannya padamu. Ayo aku antar” katanya kini memegang tanganku.
“hari ini hari Rabu, kamu tidak ada kelas hari ini” pekikku. Kami biasanya hanya berangkat bersama saat hari senin dan Jum’at karuna jadwal kami sama, dan hari ini Fajar tidak ada jadwal.
“aku Cuma mau nganter kamu, sebagai permintaan maafku padamu” katanya dengan senyuman. Wajahnya bersih bercahaya seperti tanpa dosa. Dia bukan pria tampan memang. Namun kulitnya bersih. Itu sudah cukup untukku.
Dengan senyumn yang aku rasa senyuman terbahagia di duni. Aku naik di atas motor Fajar.

“jangan nakal jangan centil” kata Fajar sambil mengacak-acak poniku. Sudah lama sekali rasanya pria inu tidak menjahiliku seperti ini.
“iya sayang” kataku mengelak dari gerak tangan jahil Fajar sambil melempar senyum. Aku suka ia berperilaku menyebalkan lagi seperti sebelumnya.
Fajarpun berlalu.

--

Rasnya aku sama sekali tidak fokus pada pelajaran. Fajar sudah kembali seperti biasanya dan aku tidak sabar untuk bertemu dengannya lagi. Kerinduanku belum terlampiaskan padanya tadi pagi. Terlalu singkat.
Aku membuka ponselku. Pelajaran baru saja selesai dan aku berniat mengajaknya makan malam dirumahku malam ini.

--

Mata ku terbuka. Suara angin membuka jendela itu membangunkanku sepertinya. Aku melihat jam dan. “ya tuhan. Jam lima dan aku belum memasak” aku langsung bangkin dan meraih ponselku.
’65 misscalled’ tulisan di layar dan semuanya berasal dari nomor Fajar. Bukankah dia biasa langsung datang ke rumahku? Untuk apa dia menelpon sebanyak ini?
Ponselku bergetar hebat dan ternyata panggilan dari fajar lagi.
“Halo” sapaku
“halo, Dinda. Kamu di mana?” suar itu bukan suara Fajar. Aku mengenalnya.
“Dika? Kenapa kamu pakai ponsel Fajar?” aku memekik. Ada apa ini?
“kamu di mana ? nanti aku jelaskan” katanya terdengar tergesa-gesa. Bicaranya amat panic.
“di rumah” jawabku singkat. Kebingunganku memuncak.
“oke. Sia-siap. Lima belas menit lagi aku jemput. Tunggu aku du depan rumahmu” –nut. Suara Dika diikuti dengan ponselku yang mati.
Aku langsung berisiap. Ada yang tidak beres. Aku tidak mengerti dan sepertinya aku tidak akan menyukainya.

Dika di depan gerbangku. Wajahnya pucat.
“ada ap-“ aku tidak sempat meneruskan kalimatku “naik lah kau akan tahu pa yang terjadi” katanya dingin dan membawaku pergi.
Sepanjang jalan aku tidak bisa menebak apa yang terjadi. Tak ada satupun pertanyaanku yang dijawab oleh Dika.
Sampai kami berhenti di sebua rumah sakit. Kakiku mulai tak terasa. Kabar ini pasti akan sangat buruk untukku.
“Dika. Ini sebenarnya ada apa?” tanyaku yang mulai panic.
Dika masih tanpa suara merngarah ke gerbng masuk lobi rumah sakit. Aku melihat Rena. Adik Fajar. Satu-satunya keluarganya yang tingal bersama dia di kota ini.
“Rena” aku berlari menghampirinya dan dibalas dengan pelukannya, tangisnya pecah tanpa dapat aku mengerti.
Rena menuntunku ke sebuah ruangan. Seseorang dengan penuh perban berbaring di sana. Aku tahu itu pasri Fajar, aku tidak mau meyakini hal itu. dan benar. pria itu Fajar. Dengan hampir separuh badannya di lilit kain perban. Kepalanya, tangannya, dan pasti kakinya yang tertutup selimut itu penuh perban.
Tangisku pecah sejadi-jadinya disana. Tak ada alasan untuk aku bisa menahannya. Aku memegang telapak tangan Fajar yang tidak terkena perban. Aku menciumnya dengan beribu kata maaf.
“dia terserempet truk pasir hampir sepuluh meter. Menurut saksi mata Fajar oleng” jelas Dika sedikit terpatah-patah. Menata setiap kata agar otakku mengerti. Tidak, aku tidak mau mengerti.
“tadi siang” lanjutnya dan terhenti.
“cukup Dik cukup” aku tidak sanggup lagi mendengarnya. Setiap kata yang ia susun itu membuatkku semakin tertusuk. Tangisku tak henti. Tanganku masih menggenggam tangannya.
Tangan Fajar bergerak. Mataku dan dika terbelalak melihatnya.
“Suster” Rena berlari keluar mencari perawat.
“sayang aku disini” aku berusaha menyadarkannya.
Perawat datang dan menyingkirkan kami ke luar.
Aku menunggu di depan. Menatap kaca yang tertutup kain hijau. hatiku kacau balau. Kepalaku terasa ingin pecah.
Dokter keluar dari ruangan “sebuah keajaiban Fajar bisa siuman secepat ini melihat keadaan lukanya. Kalian patut bersyuku” kata dokter itu lalu pergi bersama beberapa perawat.
Aku masuk kedalam ruangan itu. Fajar disana, menatapku dengan senyuman. Aku tahu hatinya sedang meringkih kesakitan.
“Fajar” rasanya aku sangat ingin memeluknya. Bibirnya tersenyum. Rasanya ia tak pernah tersenyum seindah ini sebelumnya. Ia terlihat damai. Apa luka di tubuhnya itu tidak terasa sakit?
Kami berbincang. Aku, Dika dan Fajar. Rena tertidur di kursi. Ia terlihat sangat lelah, Rena baru lulus SMP, ia sangat menyayangi Fajar. Aku akan habis dihajarnya jika ternyata aku lah penyebab kakak kesayangannya ini mengalami penderitaan separah ini.
Fajar tersenyum. Ia terlihat sehat dan aku yakin semuanya akan baik-baik saja. Rena tidak perlu khawatir karena kakaknya akan kembali ke rumah.
“pulang lah. Aku tahu orang tuamu tak mengizinkan kau pergi keluar sampai larut” Fajar tahu benar kedua orang tuaku Overprotective. Aku tak pernah bisa pergi ke luar rumah mlewat dari jam tujuh atau aku akan mendapatkan masalah.
“ini berbeda Fajar kau sedang-“ aku belum sempat meneruskan kalimatku.
“kau bisa lihat aku baik-baik saja bukan? Satu jam lagi pun kedua orang tuaku akan sampai disini” bujuknya. Ia tidak pernah mau aku menerima hukuman apapun dari orang tuaku.
Aku meyerah. Aku melihatnya. Dia baik-baik saja dan tawanya itu sangat melambangkan bahwa tak ada apapun yang terjadi.
Aku kembali ke rumahku, tentu di antar Dika yang langsung diperintah oleh Fajar. Sepertinya ia sudah tidak mempermasalahkan apapun tentang Dika.

“Dik, aku nuggu kabar Fajar dari kamu ya. Kabari aku apapun yang terjadi dengan Fajar” kataku dibalas dengan acungan jempol  dari Dika lalu mengilang dibalik tikungan.
Aku masuk ke dalam rumahku, lalu terududuk di kursi dalam kamarku. Air mataku tiba-tiba mencair. Entah rasanya aku ingin menangis. Aku sudah melihat Fajar tertwa bukan? Keyakinanku harusnya sudah cukup untuk menghentikan air mataku. Rapi tidak, air mataku tak henti menetes.
Aku menenggelamkan kepalaku di bantal. Berharap mendapatkan ketenangan disana dengan hasil nothing aku masih meneteskan air mata tanpa aku ketahui alasannya ini.

‘derrrttt’ ponselku bergetar. Aku merogoh tasku.
‘Dika Calling’ tulisan di ponselku. Bukankah dia bisa mengirim SMS. Tapi ini telpon?
“halo” sapaku.
“Dinda, Fajar sudah pergi” aku tidak mendengarnya sungguh aku tidak mendengarnya dengan jelas.
“apa Dika?” aku menanyakanny. Aku tidak yakin yang aku dengar itu benar.
“Fajar sudah pergi Din. Dia sudah tiada” tangisku semakin pecah. Sepertinya hal ini penyebab tangis tanpa sebabku dari tadi. Kakiku terasa tak bertulang lagi. Aku sudah terduduk di sisi kasurku dengan isak yang bergeming tak henti.
“dia akan di bawa ke Jogja oleh orang tuanya mala mini juga. Kau tak perlu ke sini” kalimat itu mengiris dadaku.
Aku lempar ponselku ke dinding. Aku memeluk erat kedua kakuku. Tangisku berhamburan. Seisi ruanganku pasti menatapku pilu. Ya. Kini aku adalah jelmaan sebuah hati yang telah mati.
Fajar benar-benar meninggalkanku tanpa kata perpisahan sedikitpun, tanpa ucapan selamat tinggal. Sebesar itukah kesalahanku sampai ia menghukumku seperti ini?
Aku tahu menangis semalampun tak akan membuatnya kembali disisiku. Tapi apa yang bisa membuatku bisa menebus kesalahanku sekarang?

--

“ini” Dika memberi sebuah buku. Buku yang sama dengan milikku, buku catatan milik Fajar. Buku puisinya yang tak pernah lepas dari genggamannya.
“Fajar menitipkan ini padaku” lanjutnya. Aku mengambil buku itu. menatapnya pilu. Aroma tangan Fajar ada di sana. Mataku kebali meneteskan butiran kesedihan.
“dia juga menitipkanmu” lanjtnya sambil tertunduk. Wajahnya masih bisa terlihat dan tak ada ekspresi bercanda di sana.
“aku akan baik-baik saja. Percayalah” jawabku berusaha terlihat riang. Sepertinya tidak berhasil.
“sudah hampur dua pecan kepergian Fajar dan wajahmu masih sepucat itu. apakah itu baik-baik saja?” tanyanya. Kini wajahnya sudah menatapku.
“ini soal hati Dit. Soal kesedihan cinta yang tak akan mati bahkan setelah diterkam kematian” gumamku memeluk buku catatan Fajar.
Dika tersenyum  “bacalah buku itu. disetiap halaman aku merasakan Fajar berada di sisiku” katanya lalu berlalu dari teras rumahku.
Aku duduk di kursi bambu. Membuka halaman demi halaman buku itu. sebagian dari buku itu sudah pernah aku baca. Aku tahu seberapa indah buku itu. aku melihat satu halaman yang baru ia tulis.

Berusaha pergi dari hidupmu membuat aku sendiri tak bisa bernafas
Darahku berhenti mengalir dan yang terparah
Jariku tak bisa menulis puisi apapun yang aku inginkan
Kau adalah matahari bagi duniaku
Bersinarlah sekalipun sang dunia sudah tak ada
Matahari tak berhenti bersinar

Tangisku kembali pecah. Kalimat ini tak seindah kalimat yang ia buat sebelumnya. Namun ini adalah salam perpisahan darinya. Ya. Setiap huruf yang tersusun melambangkan Fajar didalamnya. Aku bisa merasakannya.

Percayalah. Hanya kata yang tertulislah yang bisa abadi. Cinta, kasih sayang, kecucuran. Mereka akan terkubur bersama jasad. Kenangan akan rapuh sedikit demi sedikit. Dan kata yang tertulis, dia bisa menggambarkan dan mengabadikan segalanya.

--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar