“engga Jar, kamu
itu salah sangka!” aku
berteriak pada fajar sore itu. Bagai mana tidak? Ia menuduhku berselingkuh
dengan temannya sendiri. sudah gila orang ini.
“kamu SMS-an
sama dia itu bukan bukti? Ada foto kamu di ponsel Dika itu bukan bukti?” Fajar
tidak kalah membentakku.
Aku hampir
menangis. Mataku pasti sudah menggenang air mata. “kamu lihat. Pesan ini tidak
seperti yang kamu tuduhkan. Aku hanya berusaha mengenal duniamu. Soal ada
fotoku di ponselnya itu bukan salahku bukan? Mana mungkin aku yang
menyuruhnya?” aku mulai terisak. Pria yang aku cintai tidak mempercayaiku
sekarang. Matanya terlihat amat marah, entah jin dari mana merasuki tubuhnya.
Apapun yang aku katakana langsung ia sangkal dan tak didengarkan.
Fajar tersenyum
getir padaku lalu pergi meninggalkanku di gazebo rumahku.
Aku tidak bisa
memanggil namanya. Bibirku bergetar dan aku hanya dapat memandanginya sampai
tubuhnya menghilang dibalik tikungan rumahku.
Aku masih
terisak disana. Apa yang membuat Fajar semarah ini denganku? Bila yang aku
lakukan ini salah, seharusnya dia tak semarah itu karena masalahnya tidak
sebesar yang terlihat. Fajar benar-benar tidak mau mendengarkan aku.
--
Entah berapa
pesan maaf yang aku beri. Bahkan aku memaksa Dika untuk menjelaskan apa yang
terjadi. Dika pun tak berdaya. Dika memang menyinpan foto ku diponselnya. Tapi
ia tidak bermaksud apa-apa dan Fajar melihatnya saat ponsel itu berada di
tangannya setelah berfoto bersama.
Fajar sama
sekali tidak menjawab pesan maupun telponku. Sungguh aku merasa terpuruk. Satu
hari tanpa kabarnya tidak masalah jika hubungan kami sedang baik-baik saja.
Tapi kali ini berbeda. Dia begitu membabi buta, tidak seperti biasnya.
Semuanya berawal
ketika aku mencari Fajar yang tak kunjung memberi kabar sepulang dari kampus. Tiba-tiba
sebuah nomor muncul di ponselku
dan ternyata itu adalah dia menggunakan nomor teman dekatnya. Setelah itu aku
sering menanyakan Fajar dan apa
saja yang suka ia lakukan di
sekolah. Hanya itu saja. Tapi semuanya berarti berbeda di mata Fajar.
--
“maaf, aku tidak
bermaksud menghancurkan hubungan kalian. Entah rasanya aku nyaman sekali
berbincang denganmu” kata Dika saat menemuiku di kantin.
Aku hanya diam
mendengar penjelasannya.
“aku menyukaimu
memang Dinda. Tapi aku masih sangat menghargai Fajar. Aku tidak berniat
mengambil kamu dari dia. Kau tahu itu bukan?”
Kalimat Dika
membekukan kepalaku. Fajar mengenal Dika dan pasti karena itu dia marah. Lalu
aku korban? Aku tidak tahu soal perasaan Dika padaku dan Fajar tetap marah
padaku?
“Aku akan
membuat Fajar kembali padamu. Percayalah. Dia tidak memutus hubungan kalian
berarti dia masih meyayangimu” katanya. Matanya seperti menahan perih.
Senyumnya terasa getir.
Aku membalas
senyumnya. mungkin senyum yang sama getirnya dengan yang baru saja diberikan
Dika padaku.
Dia menepuk
pundakku sebagai tanda perpisahan lalu bangkit dan berlalu tanpa sepatah kata
lagi keluar dari mulutnya.
Aku memandangi punggungnya
sampai ia berlalu dan menghilang dibalik tembok.
Tingkat
keberhasilannya pasti sedikit. Dika taka akan bisa menyelesaikan masalah ini.
Lagi pula, bagaimana pun ini masalahku dengan Fajar.
Aku bangkit dari
tempatku duduk dan berjalan menuju perpustakaan. Ke mana lagi anak itu di saat
seperti ini selain perpustakaan?
--
“Fajar” aku
menemukannya terduduk di sudut perpustakaan. Ditangannya terbuka sebuah buku
berkertas kuning.
Dia hanya
menengok sebentar kepadaku lalu kembali pada fokus sebelumnya. Buku itu.
Aku terus
berjalan menghampirinya dan duduk di hadapannya. Disana ada bukunya. Buku puisi
yang selalu ia bawa. Selalu ada irama yang bisa ia jadikan kalimat indah setiap
detiknya. Buku yang sama dengan yang ada di tasku. Ia memberikanku buku yang
sama dengan miliknya. Bedanya milikku lebih banyak berisi cerpen dan beberapa
puisi yang tak lebih indh dari miliknya.
“kamu masih
marah?” tayaku percuma. Jelas raut wajah dan penyambutannya itu melambangkan
segalanya bukan?
Ia masih serius
dengan bukunya. Seakan keberadaanku tak terlihat olehnya. Ia sama sekali tak
bergeming.
“Fajar. Apa yang
harus aku lakukan lagi? Aku ingin kita seperti dulu” aku menggoyak-goyakkan
pundak Fajar dan kini matanya menatap tajam padaku. Matanya tidak seperti
Fajarku. Fajar si pria puisi penuh cinta.
Dia masih
menatapku dingin disana sedangkan aku kini hampir menangis. Aku sangat merindukannya
dan rasanya aku ingin memeluknya. Memeluk Fajarku.
Pria tegap ini
bangkit dan meninggalkanku.
“Fajar”
panggilku dengan air mata yang kini sudah menetes. Aku tak bisa menahannya
lagi. Tangiku pecah sejadi-jadinya di perpustakaan kosong itu. sudut ini selalu
kosong. Ini tempat kami. Tepat Fajar mengajariku menulis dari kalimat indah,
puisi, cerpen dan ia ingin sekali aku bisa menulis sebuah Novel. Menurutnya aku
lebih indah saat bercerita, puisi bukan duniaku. Tapi puisi dan Cerita adalah
sebuah bagian yang saling melengkapi walaupun berbeda.
Tangisku masih
disini bersamaku. Tanganku sudah menggenggam buku pemberian Fajar. Aku
menggeggamnya erat berharap buku itu adalah tangan Fajar. Semuanya sudah
hilang. Fajarku sudah hilang dan kini hanya ada orang asing yang tak aku kenal.
Tanganku
bergetar memegang buku itu. buku dengan sampul coklat yang bearoma seperti
tangan Fajar. Tidak. Aku tidak bisa membiarkannya tetap seperti ini. Fajarku
harus kembli.
Aku menghapus
air mataku dan mengambil nafas dalam.
--
“mamah, aku
berangkat” aku berpamitan pada mamah dan pergi, membuka pintu dan … “Fajar”
kakiku sangat lemas melihat pria itu ada di halaman rumahku. Dengan senyuman
yang beberapa hari ini tidak aku lihat.
Aku berjalan
menghampirinya. Hampir terasa ini mimpi. Dia berubah dalam waktu yang singkat
dan tiba-tiba kembali lagi?
“maafin aku ya.
Entah rasanya kemarin aku ingin sekali marah dan malah melampiaskannya padamu.
Ayo aku antar” katanya kini memegang tanganku.
“hari ini hari
Rabu, kamu tidak ada kelas hari ini” pekikku. Kami biasanya hanya berangkat
bersama saat hari senin dan Jum’at karuna jadwal kami sama, dan hari ini Fajar
tidak ada jadwal.
“aku Cuma mau
nganter kamu, sebagai permintaan maafku padamu” katanya dengan senyuman.
Wajahnya bersih bercahaya seperti tanpa dosa. Dia bukan pria tampan memang.
Namun kulitnya bersih. Itu sudah cukup untukku.
Dengan senyumn
yang aku rasa senyuman terbahagia di duni. Aku naik di atas motor Fajar.
“jangan nakal
jangan centil” kata Fajar sambil mengacak-acak poniku. Sudah lama sekali
rasanya pria inu tidak menjahiliku seperti ini.
“iya sayang”
kataku mengelak dari gerak tangan jahil Fajar sambil melempar senyum. Aku suka
ia berperilaku menyebalkan lagi seperti sebelumnya.
Fajarpun
berlalu.
--
Rasnya aku sama
sekali tidak fokus pada pelajaran. Fajar sudah kembali seperti biasanya dan aku
tidak sabar untuk bertemu dengannya lagi. Kerinduanku belum terlampiaskan
padanya tadi pagi. Terlalu singkat.
Aku membuka
ponselku. Pelajaran baru saja selesai dan aku berniat mengajaknya makan malam
dirumahku malam ini.
--
Mata ku terbuka.
Suara angin membuka jendela itu membangunkanku sepertinya. Aku melihat jam dan.
“ya tuhan. Jam lima dan aku belum memasak” aku langsung bangkin dan meraih
ponselku.
’65 misscalled’
tulisan di layar dan semuanya berasal dari nomor Fajar. Bukankah dia biasa
langsung datang ke rumahku? Untuk apa dia menelpon sebanyak ini?
Ponselku
bergetar hebat dan ternyata panggilan dari fajar lagi.
“Halo” sapaku
“halo, Dinda.
Kamu di mana?”
suar itu bukan suara Fajar. Aku mengenalnya.
“Dika? Kenapa
kamu pakai ponsel Fajar?” aku memekik. Ada apa ini?
“kamu di mana ?
nanti aku jelaskan” katanya terdengar tergesa-gesa. Bicaranya amat panic.
“di rumah”
jawabku singkat. Kebingunganku memuncak.
“oke. Sia-siap.
Lima belas menit lagi aku jemput. Tunggu aku du depan rumahmu” –nut. Suara Dika
diikuti dengan ponselku yang mati.
Aku langsung
berisiap. Ada yang tidak beres. Aku tidak mengerti dan sepertinya aku tidak
akan menyukainya.
Dika di depan
gerbangku. Wajahnya pucat.
“ada ap-“ aku
tidak sempat meneruskan kalimatku “naik lah kau akan tahu pa yang terjadi”
katanya dingin dan membawaku pergi.
Sepanjang jalan
aku tidak bisa menebak apa yang terjadi. Tak ada satupun pertanyaanku yang
dijawab oleh Dika.
Sampai kami berhenti
di sebua rumah sakit. Kakiku mulai tak terasa. Kabar ini pasti akan sangat buruk untukku.
“Dika. Ini
sebenarnya ada apa?” tanyaku yang mulai panic.
Dika masih tanpa
suara merngarah ke gerbng masuk lobi rumah sakit. Aku melihat Rena. Adik Fajar.
Satu-satunya keluarganya yang tingal
bersama dia di kota ini.
“Rena” aku
berlari menghampirinya dan dibalas dengan pelukannya, tangisnya pecah tanpa dapat
aku mengerti.
Rena menuntunku
ke sebuah ruangan. Seseorang dengan penuh perban berbaring di sana. Aku tahu
itu pasri Fajar, aku tidak mau meyakini hal itu. dan benar. pria itu Fajar.
Dengan hampir separuh badannya di lilit kain perban. Kepalanya, tangannya, dan
pasti kakinya yang tertutup selimut itu penuh perban.
Tangisku pecah
sejadi-jadinya disana. Tak ada alasan untuk aku bisa menahannya. Aku memegang
telapak tangan Fajar yang tidak terkena perban. Aku menciumnya dengan beribu
kata maaf.
“dia terserempet
truk pasir hampir sepuluh meter. Menurut saksi mata Fajar oleng” jelas Dika
sedikit terpatah-patah. Menata setiap kata agar otakku mengerti. Tidak, aku
tidak mau mengerti.
“tadi siang”
lanjutnya dan terhenti.
“cukup Dik
cukup” aku tidak sanggup lagi mendengarnya. Setiap kata yang ia susun itu
membuatkku semakin tertusuk. Tangisku tak henti. Tanganku masih menggenggam
tangannya.
Tangan Fajar
bergerak. Mataku dan dika terbelalak melihatnya.
“Suster” Rena
berlari keluar mencari perawat.
“sayang aku
disini” aku berusaha menyadarkannya.
Perawat datang
dan menyingkirkan kami ke luar.
Aku menunggu di
depan. Menatap kaca yang tertutup kain hijau. hatiku kacau balau. Kepalaku
terasa ingin pecah.
Dokter keluar
dari ruangan “sebuah keajaiban
Fajar bisa siuman secepat ini melihat keadaan lukanya. Kalian patut bersyuku”
kata dokter itu lalu pergi bersama beberapa perawat.
Aku masuk
kedalam ruangan itu. Fajar disana, menatapku dengan senyuman. Aku tahu hatinya
sedang meringkih kesakitan.
“Fajar” rasanya
aku sangat ingin memeluknya. Bibirnya tersenyum. Rasanya ia tak pernah
tersenyum seindah ini sebelumnya. Ia terlihat damai. Apa luka di tubuhnya itu
tidak terasa sakit?
Kami berbincang.
Aku, Dika dan Fajar. Rena tertidur di kursi. Ia terlihat sangat lelah, Rena
baru lulus SMP, ia sangat menyayangi Fajar. Aku akan habis dihajarnya jika
ternyata aku lah penyebab kakak kesayangannya ini mengalami penderitaan separah
ini.
Fajar tersenyum.
Ia terlihat sehat dan aku yakin semuanya akan baik-baik saja. Rena tidak perlu
khawatir karena kakaknya akan kembali ke rumah.
“pulang lah. Aku
tahu orang tuamu tak mengizinkan kau pergi keluar sampai larut” Fajar tahu
benar kedua orang tuaku Overprotective.
Aku tak pernah bisa pergi ke luar rumah mlewat dari jam tujuh atau aku akan
mendapatkan masalah.
“ini berbeda
Fajar kau sedang-“ aku belum sempat meneruskan kalimatku.
“kau bisa lihat
aku baik-baik saja bukan? Satu jam lagi pun kedua orang tuaku akan sampai
disini” bujuknya. Ia tidak pernah mau aku menerima hukuman apapun dari orang
tuaku.
Aku meyerah. Aku
melihatnya. Dia baik-baik saja dan tawanya itu sangat melambangkan bahwa tak
ada apapun yang terjadi.
Aku kembali ke
rumahku, tentu di antar Dika yang langsung diperintah oleh Fajar. Sepertinya ia
sudah tidak mempermasalahkan apapun tentang Dika.
“Dik, aku nuggu
kabar Fajar dari kamu ya. Kabari aku apapun yang terjadi dengan Fajar” kataku
dibalas dengan acungan jempol dari Dika
lalu mengilang dibalik tikungan.
Aku masuk ke
dalam rumahku, lalu terududuk di kursi dalam kamarku. Air mataku tiba-tiba
mencair. Entah rasanya aku ingin menangis. Aku sudah melihat Fajar tertwa
bukan? Keyakinanku harusnya sudah cukup untuk menghentikan air mataku. Rapi
tidak, air mataku tak henti menetes.
Aku
menenggelamkan kepalaku di bantal. Berharap mendapatkan ketenangan disana
dengan hasil nothing aku masih
meneteskan air mata tanpa aku ketahui alasannya ini.
‘derrrttt’
ponselku bergetar. Aku merogoh tasku.
‘Dika Calling’
tulisan di ponselku. Bukankah dia bisa mengirim SMS. Tapi ini telpon?
“halo” sapaku.
“Dinda, Fajar
sudah pergi” aku tidak mendengarnya sungguh aku tidak mendengarnya dengan
jelas.
“apa Dika?” aku
menanyakanny. Aku tidak yakin yang aku dengar itu benar.
“Fajar sudah
pergi Din. Dia sudah tiada” tangisku semakin pecah. Sepertinya hal ini penyebab
tangis tanpa sebabku dari tadi. Kakiku terasa tak bertulang lagi. Aku sudah
terduduk di sisi kasurku dengan isak yang bergeming tak henti.
“dia akan di
bawa ke Jogja oleh orang tuanya mala mini juga. Kau tak perlu ke sini” kalimat
itu mengiris dadaku.
Aku lempar
ponselku ke dinding. Aku memeluk erat kedua kakuku. Tangisku berhamburan. Seisi
ruanganku pasti menatapku pilu. Ya. Kini aku adalah jelmaan sebuah hati yang
telah mati.
Fajar
benar-benar meninggalkanku tanpa kata perpisahan sedikitpun, tanpa ucapan
selamat tinggal. Sebesar itukah kesalahanku sampai ia menghukumku seperti ini?
Aku tahu
menangis semalampun tak akan membuatnya kembali disisiku. Tapi apa yang bisa
membuatku bisa menebus kesalahanku sekarang?
--
“ini” Dika
memberi sebuah buku. Buku yang sama dengan milikku, buku catatan milik Fajar.
Buku puisinya yang tak pernah lepas dari genggamannya.
“Fajar
menitipkan ini padaku” lanjutnya. Aku mengambil buku itu. menatapnya pilu.
Aroma tangan Fajar ada di sana. Mataku kebali meneteskan butiran kesedihan.
“dia juga
menitipkanmu” lanjtnya sambil tertunduk. Wajahnya masih bisa terlihat dan tak
ada ekspresi bercanda di sana.
“aku akan
baik-baik saja. Percayalah” jawabku berusaha terlihat riang. Sepertinya tidak
berhasil.
“sudah hampur
dua pecan kepergian Fajar dan wajahmu masih sepucat itu. apakah itu baik-baik
saja?” tanyanya. Kini wajahnya sudah menatapku.
“ini soal hati
Dit. Soal kesedihan cinta yang tak akan mati bahkan setelah diterkam kematian”
gumamku memeluk buku catatan Fajar.
Dika
tersenyum “bacalah buku itu. disetiap
halaman aku merasakan Fajar berada di sisiku” katanya lalu berlalu dari teras
rumahku.
Aku duduk di kursi
bambu. Membuka halaman demi halaman
buku itu. sebagian dari buku itu sudah pernah aku baca. Aku tahu seberapa indah
buku itu. aku melihat satu halaman yang baru ia tulis.
Berusaha
pergi dari hidupmu membuat aku sendiri tak bisa bernafas
Darahku
berhenti mengalir dan yang terparah
Jariku
tak bisa menulis puisi apapun yang aku inginkan
Kau
adalah matahari bagi duniaku
Bersinarlah
sekalipun sang dunia sudah tak ada
Matahari
tak berhenti bersinar
Tangisku kembali pecah. Kalimat ini
tak seindah kalimat yang ia buat sebelumnya. Namun ini adalah salam perpisahan
darinya. Ya. Setiap huruf yang tersusun melambangkan Fajar didalamnya. Aku bisa
merasakannya.
Percayalah. Hanya kata yang
tertulislah yang bisa abadi. Cinta, kasih sayang, kecucuran. Mereka akan
terkubur bersama jasad. Kenangan akan rapuh sedikit demi sedikit. Dan kata yang
tertulis, dia bisa menggambarkan dan mengabadikan segalanya.
--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar